DaerahUncategorized

Kisah Penatar Muda Sultra Hingga Mendapat Piagam dari Ketua BP-7 Pusat, Achmad Lamani Menatar Ribuan Pejabat dan ASN

×

Kisah Penatar Muda Sultra Hingga Mendapat Piagam dari Ketua BP-7 Pusat, Achmad Lamani Menatar Ribuan Pejabat dan ASN

Sebarkan artikel ini
Foto : Bupati Mubar, Achmad Lamani Bersama Ibu Rosma Achmad Lamani (Istri). Foto/Istimewa

MUNA BARAT,  SEKILASINDONESIA.ID Seluruh warga Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) patut berbangga kepada Bupati Mubar, Achmad Lamani sebagai Penatar Muda yang mewakili Sultra menjadi peserta penataran P-4 tahun 1985. Da mendapatkan penghargaan dan piagam langsung dari Ketua BP-7, Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo sebagai orang yang dipercaya bersih dari Korupsi (KKN).
Lahirnya penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) pada orde baru. Sejak tahun 1978, pemerintah Orde Baru menyelenggarakan penataran P4 atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Dalam penerapannya, penataran P4 memiliki tujuan untuk memberikan pemahaman yang sama tentang Demokrasi Pancasila dan ditujukan untuk membentuk manusia Pancasila.

Depolitisasi parpol dan ormas juga dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui cara penyeragaman ideologis melalui ideologi Pancasila. Dengan alasan Pancasila telah menjadi konsensus nasional, keseragaman dalam pemahaman Pancasila perlu disosialisasikan.
Gagasan ini disampaikan oleh Presiden Soeharto pada acara Hari Ulang Tahun ke-25 Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, 19 Desember 1974. Kemudian dalam pidatonya menjelang pembukaan Kongres Nasional Pramuka pada 12 Agustus 1976, di Jakarta, Presiden Soeharto menyerukan kepada seluruh rakyat agar berikrar pada diri sendiri mewujudkan Pancasila dan mengajukan Eka Prasetia bagi ikrar tersebut.

Click Here
Foto : Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo. Foto/Istimewa

Presiden Soeharto mengajukan nama Eka Prasetia Pancakarsa dengan maksud menegaskan bahwa penyusunan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dipandang sebagai janji yang teguh, kuat, konsisten, dan tulus untuk mewujudkan lima cita-cita yaitu:
1.takwa kepada Tuhan YME dan menghargai orang lain yang berlainan agama/kepercayaan;
2.mencintai sesama manusia dengan selalui ingat kepada orang lain, tidak sewenangwenang;
3.mencintai tanah air, menempatkan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi;
4.demokratis dan patuh pada putusan rakyat yang sah; suka menolong orang lain, sehingga dapat meningkatkan kemampuan orang lain (Referensi Bahan Penataran P4 dalam Anhar Gongong ed, 2005: 159).

Presiden kemudian mengajukan draft P4 ini kepada MPR, Akhirnya, pada 21 Maret 1978 rancangan P4 disahkan menjadi Tap MPR No.II/MPR/1978. Setelah disahkan MPR, pemerintah membentuk komisi Penasehat Presiden mengenai P4 yang dipimpin oleh Dr. Roeslan Abdulgani. Sebagai badan pelaksananya dibentuk Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksana P4 (BP7) yang berkedudukan di Jakarta. Tugasnya adalah untuk mengkoordinasi pelaksanaan program penataran P4 yang dilaksanakan pada tingkat nasional dan regional.

Tujuan penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai Demokrasi Pancasila, sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.

Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia. Pegawai negeri (termasuk pegawai BUMN), baik sipil maupun militer diharuskan mengikuti penataran P4. Kemudian para pelajar, mulai dari sekolah menengah sampai Perguruan Tinggi, juga diharuskan mengikuti penataran P4 yang dilakukan pada setiap awal tahun ajaran atau tahun akademik.

Melalui penataran P4 itu, pemerintah juga memberikan penekanan pada masalah “suku”, “agama”, “ras”, dan “antargolongan”, (Sara). Menurut pemerintah Orde baru, “sara” merupakan masalah yang sensitif di Indonesia yang sering menjadi penyebab timbulnya konflik atau kerusuhan sosial. Oleh karena itu, masyarakat tidak boleh mempermasalahkan hal-hal yang berkaitan dengan Sara. Secara tidak langsung masyarakat dipaksa untuk berpikir seragam; dengan kata lain yang lebih halus, harus mau bersikap toleran dalam arti tidak boleh membicarakan atau menonjolkan perbedaan yang berkaitan dengan masalah sara.

Bourchier juga mengatakan bahwa P4 pada dasarnya merupakan manifestasi dari pemerintahan autokratis Orde Baru dalam upaya penerapan nilai-nilai Pancasila. Program ini wajib diikuti oleh seluruh pegawai negeri dan anggota ABRI dalam kurun waktu tertentu, tergantung golongan kepangkatannya. Selain Pancasila, mereka juga diinstruksikan untuk mendalami UUD 1945 dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Penataran P4 nyatanya cukup berat, terlebih untuk ukuran masa kini. Sebagaimana dicatat oleh Bourchier, penataran umumnya dilaksanakan dalam waktu dua minggu, dari pukul delapan pagi hingga enam petang. Bagi pejabat pemerintahan senior, waktu penataran yang harus dijalani adalah 120 jam. Peserta penataran dianggap gugur dan harus mengulang dari awal ketika kedapatan satu kali tidak hadir atau dianggap tidak mengikuti etiket penataran.

“Peserta yang terlambat datang di setiap sesi akan langsung ditandai, begitu pula peserta yang tidak mengindahkan etiket, seperti tidak duduk dengan rapi atau tidak menunjukkan sikap hormat kepada pembina atau malah menguap,” tulis Bourchier (Media Tempo).

Lebih jauh, etiket penataran P4 disusun dengan bercermin kepada budaya sopan santun orang Jawa. Bourchier melanjutkan bahwa selama penataran, “peserta yang terlalu banyak mengekspresikan pendapatnya juga akan mendapat teguran, begitu pula bagi peserta yang hanya diam.”
Satu tahun setelah seminar P4 pertama kali diadakan pada 1 Oktober 1978, Soeharto membentuk BP7 dan P7 dengan tugas pokok mengoordinasi seluruh kegiatan penataran P4 di tingkat bawah. Kedua badan ini juga bertanggung jawab menyelenggarakan penataran di luar lembaga pemerintahan yang berlaku secara nasional.

Salah satu putra Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) yang saat ini menjabat sebagai Bupati Kabupaten Muna Barat, Achmad Lamani menjadi salah satu peserta Penasaran P-4 pada Tahun 1985, ketika itu beliau pertama kali diangkat dan menjadi ASN.

Achmad Lamani, mengakui bahwa jika penataran P4 pada dasarnya dapat disamakan dengan operasi tertib mental. Baginya, lulus atau tidak peserta penataran tidaklah penting karena yang hendak dicapai ialah perubahan situasi kerja di sebuah unit pemerintahan. Sejak tahun 1985, pemerintah Orde Baru menyelenggarakan penataran P4 atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

“Dalam penerapannya, penataran P4 memiliki tujuan untuk memberikan pemahaman yang sama tentang Demokrasi Pancasila dan ditujukan untuk membentuk manusia Pancasila. Manusia Pancasila adalah manusia yang secara konsisten dan konsekuen mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Sistem demokrasi selalu mengenal persuasion dan coercion, bujukan dan paksaan, yang merupakan dua sayap dari satu ide. Dan penataran P4 inilah merupakan persuasionnya,” ujar Achmad Lamani, Sabtu (14/05/2022).

Lebih lanjut Achmad Lamani mengungkapkan ketika menjadi peserta P-4 tahun 1985 langsung dibimbing dan dimonitoring serta dididik oleh Ketua BP-7 Pusat yakni Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo.

“Kami dibimbing langsung Ketua BP-7, Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo. Saya sempat berdiskusi dan bercerita dengan beliau. Dan kami langsung diberikan penghargaan dan piagam Penataran P-4. Dan saat itu juga kami didaulat dan dipercaya sebagai orang ataupun ASN bersih dari Korupsi alias orang yang bersih dari Korupsi,” ungkapnya.

Selain itu, Achmad Lamani menyampaikan jika dirinya pernah menatar ribuan pejabat dan ASN di Sultra pada tahun 1985 dan 1987. “Saya pernah menatar dan membimbing ribuan pejabat senior dan ASN di Sultra,” tuturnya.

Penulis : LM Sacriel

Eksplorasi konten lain dari Sekilas Indonesia

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan Membaca

%d